Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak. Dalam mempelajari perkembangan manusia diperlukan adanya perhatian khusus mengenai hal-hal sebagai berikut: 1) proses pematangan, khususnya pematangan fungsi kognitif; 2) proses belajar; 3) pembawaan Atau bakat. Ketiga hal ini berkaitan erat satu sama lain dan saling berpengaruh dalam perkembangan kehidupan manusia tak terkecuali para siswa sebagai peserta didik kita.
Apabila fungsi kognitif, bakat dan proses belajar seorang siswa dalam keadaan positif, hampir dapat dipastikan siswa tersebut akan mengalami proses perkembangan kehidupan, secara mulus. Akan tetapi, asumsi yang "menjanjikan" seperti ini sebenarnya belum tentu terwujud, karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses perkembangan siswa dalam menuju cita-cita bahagianya.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Anak


Adapun mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa, para ahli berbeda pendapat lantaran sudut pandang dan pendekatan mereka terhadap eksistensi siswa tidak sama. Untuk lebih jelasnya, berikut ini penulis paparkan aliran-aliran yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan siswa.

A. Aliran Nativisme

Nativisme (nativism) adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini bernama Arthur Schopenhauer (1788-1860) seorang filosof Jerman. Aliran filsafat nativisme konon dijuluki sebagai aliran pesimistis yang memandang segala sesuatu dengan kaca mata hitam. Mengapa demikian? Karena para ahli penganut aliran ini berkeyakinan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembaharunya, sedangkan pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa. Dalam llmu pendidikan, pandangan seperti ini disebut "pesimisme pedagogis".

Sebagai contoh, jika sepasang orangtua ahli musik, maka anak-anak yang mereka lahirkan akan menjadi pemusik pula. Harimau pun hanya akan melahirkan harimau, tak akan pernah melahirkan domba. Jadi, pembawaan dan bakat orangtua selalu berpengaruh mutlak terhadap perkembangan kehidupan anak-anaknya. Benarkah postulat (anggapan dasar) ini dapat terus bertahan.

Ambillah contoh, sepasang suami-istri yang memiliki keistimewaan di bidang politik, tentu anaknya menjadi politikus pula. Namun, apabila lingkungan, khususnya lingkungan pendidikannya tidak menunjang, misalnya karena ia memasuki sekolah pertanian, sudah tentu ia tak akan pernah menjadi politisi tetapi petani.

Aliran nativisme hingga kini masih cukup berpengaruh di kalangan beberapa orang ahli, tetapi sudah tidak semutlak dulu lagi. Di antara ahli yang dipandang sebagai nativis ialah Noam A. Chomsky kelahiran 1928, seorang ahli linguistik yang sangat terkenal saat ini. Chomsky menganggap bahwa perkembangan penguasaan bahasa pada manusia tidak dapat dijelaskan semata-mata oleh proses belajar, tetapi juga (yang lebih penting) oleh adanya "biological predisposition" (kecenderungan biologis) yang dibawa sejak lahir.

Namun demikian, Chomsky tidak menafikan sama sekali peranan belajar dan pengalaman berbahasa, juga lingkungan. Baginya, semua ini ada pengaruhnya, tetapi pengaruh pembawaan bertata bahasa jauh lebih besar lagi bagi perkembangan bahasa manusia (Bruno, 1928)

B. Aliran Empirisisme

Kebalikan dari aliran nativisme adalah aliran empirisisme (empiricism) dengan tokoh utama John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini adalah "The School of British Empiricism" (aliran empirisisme Inggris). Namun, aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran filsafat bernama "environmentalisme" (aliran lingkungan) dan psikologi bernama "environmental psychology" (psikologi lingkungan) yang relatif masih baru (Reber, 1988).

Doktrin aliran empirisisme yang amat masyhur adalah "tabula rasa", sebuah istilah bahasa Latin yang berarti batu tulis kosong atau lembaran kosong (blank slate/blank tablet). Doktrin tabula rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan, dan pendidikan dalam arti perkembangan manusia itu semata-mata bergantung pada lingkungan dan pengalaman pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap tidak ada pengaruhnya. Dalam hal ini, para penganut empiririsme (bukan empirisme) menganggap setiap anak lahir seperti tabula dalam keadaan kosong, tak punya kemampuan dan bakat apa-apa, dak menjadi apa seorang anak kelak bergantung pada pengalaman/ lingkungan yang mendidiknya.

Jika seorang siswa memperoleh kesempatan yang memadai untuk pelajari ilmu politik, tentu kelak ia akan menjadi seorang politisi. Karena ia memiliki pengalaman belajar di bidang politik, ia tak akan hanya menjadi pemusik, walaupun orangtuanya pemusik sejati. Memang amat sukar dipungkiri bahwa lingkungan memiliki pengaruh terhadap proses perkembangan dan masa depan siswa. Dalam hal ini, lingkungan keluarga (bukan bakat pembawaan dari keluarga) dan lingkungan masyarakat sekitar telah terbukti menentukan tinggi rendahnya perilaku dan masa depan seorang siswa. Kondisi sebuah kelompok masyarakat yang berdomisili di kawasan uh dengan kemampuan ekonomi di bawah garis rata-rata dan tanpa sarana umum seperti mesjid, sekolah, serta lapangan olah raga telah terbukti menjadi lahan yang subur bagi pertumbuhan anak-anak nakal. Anak-anak di lingkungan seperti ini memang tak punya cukup alasan tidak menjadi brutal, lebih-lebih apabila kedua orang tuanya kurang berpendidikan.

Faktor orangtua atau keluarga terutama sifat dan keadaan mereka sangat menentukan arah perkembangan masa depan para siswa yang lahirkan. Sifat orangtua (parental trait) yang penyusun maksud ialah gaya khas dalam bersikap, memandang, memikirkan, dan memperlakukan Contoh: kelahiran bayi yang tidak dikehendaki (misalnya akibat pergaulan bebas) akan menimbulkan sikap dan perlakuan orangtua yang bersifat menolak (parental rejection) Sebaliknya, sikap orangtua yang terlalu melindungi anak juga dapat mengganggu perkembangan anak. Perilaku memanjakan anak secara berlebihan ini, menurut hasil penelitian Chazen, (1983) ternyata berhubungan erat dengan penyimpangan perilaku dan ketidakmampuan sosial anak pada kemudian hari. Namun demikian, perlu pula penyusun kemukakan sebuah fakta yang ironis, yakni di antara para siswa yang dijuluki nakal dan brutal khususnya kota-kota ternyata cukup banyak yang muncul dari kalangan keluarga berada, terpelajar, dan bahkan taat beragama. Sebaliknya, tidak sedikit pintar dan berakhlak baik yang lahir dari keluarga bodoh dan miskin bahkan dari keluarga yang tidak harmonis di samping bodoh dan miskin. Jadi, sejauh manakah validitas doktrin empirisisme yang telah memunculkan "optimisme pedagogis" itu dapat bertahan?

C. Aliran Konvergensi

Aliran konvergensi (convergence) merupakan gabungan antara aliran empirisisme dengan aliran nativisme. Aliran ini menggabungkan arti penting hereditas (pembawaan) dengan lingkungan sebagai faktor-fakto yang berpengaruh dalam perkembangan manusia. Tokoh utama konvergensi bernama Louis William Stern (1871-1938), seorang filosof d psikolog Jerman.

Aliran filsafat yang dipeloporinya disebut "personalisme", sebuah pemikiran filosofis yang sangat berpengaruh terhadap disiplin-disiplin ilmu yang berkaitan dengan manusia. Di antara disiplin ilmu yang menggunakan asas personalisme adalah "personologi" yang mengembang kan teori yang komprehensif (luas dan lengkap) mengenai kepribadian manusia (Reber, 1988).

Dalam menetapkan faktor yang mempengaruhi perkembangan manusia, Stern dan para ahli yang mengikutinya tidak hanya berpegang pada lingkungan/pengalaman juga tidak berpegang pada pembawaan saja tetapi berpegang pada kedua faktor yang sama pentingnya itu. Fakto pembawaan tidak berarti apa-apa jika tanpa faktor pengalaman. Demikian pula sebaliknya, faktor pengalaman tanpa faktor bakat pembawaan tak akan mampu mengembangkan manusia yang sesuai dengan harapan.

Para penganut aliran konvergensi berkeyakinan bahwa baik fakt pembawaan maupun faktor lingkungan andilnya sama besar dalam menentukan masa depan seseorang. Jadi, seorang siswa yang lahir dari keluarga santri atau kiai, umpamanya, kelak ia akan menjadi ahli agama apabila ia dididik di lingkungan pendidikan keagamaan.

Untuk lebih konkretnya, marilah kita ambil sebuah contoh lagi Seorang anak yang normal pasti memiliki bakat untuk berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi apabila anak tersebut tidak hidup di lingkungan masyarakat manusia, misalnya kalau dia dibuang ke tengah hutan belantara dan tinggal bersama hewan, maka bakat berdiri yang ia miliki secara turun-temurun dari orangtuanya itu, akan sulit diwujudkan. Jika anak tersebut diasuh oleh sekelompok serigala, tentu ia akan berjalan di atas kedua kaki dan tangannya. Dia akan merangkak seperti serigala pula. Jadi bakat dan pembawaan dalam hal ini jelas tidak ada pengaruhnya apabila lingkungan atau pengalaman tidak mengembangkannya.

Sampai sejauh manakah pengaruh pembawaan jika dibandingkan dengan lingkungan terhadap perkembangan masa depan seseorang? Jawabannya mungkin berbeda antara orang per orang. Sebagian oran mungkin lebih banyak ditentukan oleh faktor lingkungannya. Namun dalam hal pembawaan yang bersifat jasmaniah hampir dapat dipastikan bahwa semua orang sama, yakni akan berbentuk badan, berambut, da bermata sama dengan kedua orangtuanya. Sebagai contoh, anak-anak keturunan Barat umumnya berambut pirang, berkulit putih, bermata biru, dan berperawakan tinggi besar, karena memang warisan orangtua dan nenek moyangnya demikian.

Akan tetapi, dalam hal pembawaan yang bersifat rohaniah sangat sulit kltn kenali. Banyak orang yang ahli di bidang "X" tetapi anaknya ahli di bidang "Y". Anak ini sudah diusahakan agar mempelajari bidang "X" supaya sama dengan orangtuanya, tetapi ia menolak dan menunjukkan kecenderungan bakat "Y". Ternyata setelah mengikuti pengajaran bidang "Y", anak yang berasal dari keturunan yang ahli di bidang "X" itu benar-benar ahli di bidang "Y" bukan bidang "X". Apakah anak tersebut telah menyalahi bakat dan pembawaan keturunannya?

Banyak bukti yang menunjukkan, bahwa watak dan bakat seseorang yang tidak sama dengan orangtuanya itu, setelah ditelusuri ternyata watak dan bakat orang tersebut sama dengan kakek atau ayah/ibu kakeknya. Dengan demikian, tidak semua bakat dan watak seseorang dapat diturunkan langsung kepada anak-anaknya, tetapi mungkin kepada cucunya atau anak-anak cucunya. Alhasil, bakat dan watak dapat tersembunyi sampai beberapa generasi.

Apakah aliran konvergensi sebagaimana tersebut di atas dapat kita jadikan pedoman dalam arti bahwa perkembangan seorang siswa pasti bergantung pada pembawaan dan lingkungan pendidikannya? Sampai batas tertentu aliran ini dapat kita terima, tetapi tidak secara mutlak. Sebab masih ada satu hal lagi yang perlu kita ingat yakni potensi psikologis tertentu yang juga tersimpan rapi dalam diri setiap siswa dan sulit diidentifikasi.

Hasil proses perkembangan seorang siswa tak dapat dijelaskan hanya dengan menyebutkan pembawaan dan lingkungan. Artinya, keberhasilan seorang siswa bukan karena pembawaan dan lingkungan saja, karena siswa tersebut tidak hanya dikembangkan oleh pembawaan dan lingkungannya tetapi juga oleh diri siswa itu sendiri. Setiap orang, termasuk siswa tersebut, memiliki potensi self-direction dan self-discipline yang memungkinkan dirinya bebas memilih antara mengikuti atau menolak sesuatu (aturan ntau stimulus) lingkungan tertentu yang hendak mengembangkan dirinya. Alhasil, siswa itu sendiri memiliki potensi psikologis tersendiri untuk mengembangkan bakat dan pembawaannya dalam konteks lingkungan tertentu.

Berdasarkan uraian mengenai aliran-aliran doktrin filosofis yang berhubungan dengan proses perkembangan di atas, penyusun berkesimpulan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi-rendahnya mutu hasil perkembangan siswa pada dasarnya terdiri atas dua macam.

1. faktor intern, yaitu faktor yang ada dalam diri siswa itu sendiri yang meliputi pembawaan dan potensi psikologis tertentu yang turut mengembangkan dirinya sendiri.

2. faktor eksternal, yaitu hal-hal yang datang atau ada dl luar diri siswa yang meliputi lingkungan (khususnya pendidikan) dan pengalaman berinteraksi siswa tersebut dengan lingkungannya.

Subscribe to receive free email updates: