Hubungan Pendidikan dan Pengajaran (Belajar)

Hakikat Hubungan Pendidikan dengan Pengajaran. Setelah sebelumnya kita melihat apa arti kata pendidikan dan pengajaran menurut para ahli, kali ini kita akan melihat tentang hubungan antara pendidikan dan pengajaran.

Pendidikan, menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal 1, adalah usaha sadar yang dilakukan untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan agar peserta didik tersebut berperan dalam kehidupan masa depannya. Pengertian ini, secara implisit menafikan atau mengingkari/ menampik kehadiran orang dewasa sebagai satu-satunya orang yang berhak menjadi penyelenggara pendidikan atau menjadi guru/pendidik sebagaimana yang dikehendaki para ahli yang terkesan masih berpikiran tradisional itu.

Hubungan Pendidikan dan Pengajaran (Belajar)

Konsep "orang dewasa" sebagai pendidik dan pengajar dalam dunia pendidikan modern ini memang semakin kabur, apalagi jika dikaitkan dengan pendidikan tinggi atau pendidikan kedinasan. Para peserta didik dalam institusi-institusi kependidikan tersebut dapat dikatakan terdiri atas orang-orang dewasa semua, bahkan sebagian di antaranya ada yang sudah berusia setengah baya. Dalam keadaan demikian, tak bolehkah orang yang masih muda (tetapi berkemampuan memadai) mendidik mereka yang pada umumnya lebih tua? Jawabnya, tentu saja tak ada masalah. Sebab, yang lebih dipentingkan dalam dunia pendidikan dan pengajaran bukan soal usia, melainkan kemampuan psikologis yang memadai.

Selama pendidik memiliki kemampuan psikologis kependidikan yang dapat dipertanggungjawabkan, meskipun usianya masih muda atau mungkin jauh lebih muda daripada yang dididik, dia tetap berhak untuk diakui sebagai pendidik. Pada zaman sekarang ini, cukup banyak asisten dosen dan dosen yang brilian berusia muda apalagi di perguruan tinggi terkemuka di negara-negara maju. Mereka itu, walaupun relatif masih muda, bahkan konon ada yang belum genap 20 tahun, penguasaannya atas materi dan metodologi sangat meyakinkan. Mereka bahkan mampu berpenampilan lebih dewasa daripada para mahasiswanya yang relatif berusia lebih tua.

Tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, baik guru maupun dosen sebagaimana yang disyaratkan oleh undang-undang, tidak memerlukan syarat usia. Kriteria yang membatasi usia tertentu untuk menjadi tenaga pengajar atau pendidik dalam psikologi pendidikan masa kini hampir tak pernah lagi disinggung-singgung. Tetapi hal ini tentu tidak berarti anak-anak atau remaja yang nyata-nyata tidak memenuhi syarat psikologis boleh menjadi pendidik atau guru.

Syarat psikologis yang lengkap, utuh, dan menyeluruh bagi seorang calon guru untuk setiap jenjang pendidikan meliputi kompetensi profesionalisme keguruan, yakni kompetensi ranah cipta (kognitif); kompetensi ranah rasa (afektif); kompetensi ranah karsa (psikomotor). Asal kompetensi profesionalisme keguruan ini terpenuhi, berapa pun usia guru tentu layak untuk diangkat menjadi guru (lihat tabel 14 halaman 238). Prinsip yang bersifat psikologis ini selain luwes dan menghargai potensi anugerah Tuhan, juga tidak berlawanan dengan prinsip konstitusional yang sama sekali tidak menetapkan usia tertentu untuk diangkat menjadi pendidik.

Selanjutnya pengertian pendidikan menurut UUSPN di atas juga menafikan keharusan adanya anak-anak atau orang yang belum dewasa sebagai satu-satunya kelompok yang berhak memperoleh pendidikan. Fenafian ini jelas dapat dinilai tepat baik ditinjau dari sudut psikologi pendidikan maupun dari sudut kenyataan lapangan. Dari sudut kenyataan yang ada dan berkembang dalam tatanan dunia pendidikan modern sekarang, peserta didik bisa saja terdiri atas pelbagai kelompok usia mulai kanak-kanak sampai dewasa, bahkan kelompok yang mendekati lanjut usia.

Ambillah contoh pendidikan kedinasan. Pendidikan kedinasan jelas akan pendidikan anak-anak, melainkan untuk para pegawai atau para pegawai instansi pemerintah dalam meningkatkan kemampuan pelaksanaan tugas kedinasan mereka. Contoh lain misalnya pendidikan profesional. Jalur pendidikan ini diarahkan pada kesiapan penerapan keahlian atau profesi tertentu, yang kalau pesertanya anak-anak tentu tak mungkin dapat mengikuti pendidikan tersebut.

Alhasil, pendidikan pada hakikatnya seperti yang dinyatakan para ahli psikologi dan pendidikan antara lain Chaplin (1972), Tardif (1987), dan Weber (1988), adalah pengembangan potensi atau kemampuan manusia secara menyeluruh yang pelaksanaannya dilakukan dengan cara mengajarkan pelbagai pengetahuan dan kecakapan yang dibutuhkan oleh ssanusia itu sendiri. Hakikat pendidikan yang dikemukakan para ahli di atas ternyata juga sama dengan persepsi para penyusun Kamus Besar Bahasa Indoesia (1991).

Dalam kamus ini, secara tegas dinyatakan bahwa pendidikan adalah tahapan pengubahan sikap dan tingkah laku manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok melalui ikhtiar pengajaran dan pelatihan. Dalam perspektif psikologi, pelatihan sebenarnya masih berada dalam ruang lingkup pengajaran. Artinya, pelatihan adalah salah satu unsur pelaksanaan proses pengajaran terutama dalam pengajaran keterampilan ranah karsa.

Selain pengajaran dan pelatihan, dalam pendidikan juga diperlukan adanya bimbingan sebagaimana tersebut dalam kutipan dari UUSPN. Bimbingan, seperti juga latihan, adalah bagian penting dari pengajaran. Sebuah upaya pengajaran tanpa bimbingan bukanlah pengajaran yang ideal karena akan berdampak terabaikannya penanggulangan kesulitan belajar dan pelaksanaan remedial teaching yang secara psikologis didaktis merupakan salah satu keharusan bagi guru.

Berdasarkan uraian di atas, dan juga uraian mengenai ragam arti pendidikan dan pengajaran, jelas sekarang betapa eratnya hakikat 1 hubungan antara pendidikan dengan pengajaran. Namun, benarkah pendidikan lebih utama daripada pengajaran? Dapatkah pendidikan berjalan tanpa pengajaran? Apakah penyelenggaraan pengajaran tidak berarti juga penyelenggaraan pendidikan? Pertanyaan-pertanyaan seperti inilah yang sering mengusik sebagian besar mahasiswa psikologi pendidikan khususnya yang penyusun kelola sendiri.

Selain itu, ada pula beberapa macam persepsi sumbang yang muncul di kalangan mahasiswa mengenai hakikat hubungan pendidikan dengan pengajaran, antara lain yang paling menonjol bahwa pendidikan itu:
1) jauh berbeda dengan pengajaran;
2) lebih penting daripada pengajaran;
3) karena pengajaran hanya menanamkan pengetahuan ke dalam aspek kognitif (ranah cipta) dan sedikit memberikan keterampilan psikomotor, sedangkan aspek afektif (ranah rasa) tak pernah tersentuh.

Persepsi-persepsi seperti di atas, tentu tidak akan ada dalam diri mahasiswa kalau bukan karena pengalaman belajar mereka dan/atau karena kesaksian mereka terhadap kenyataan yang tampak di lapangan. Namun apa pun alasannya, mengubah persepsi yang kurang selaras dengan prinsip-prinsip psikologi pendidikan itu ternyata tidak gampang. Kesukaran yang penyusun hadapi acapkali semakin parah ketika mereka menyatakan bahwa persepsi tersebut "pas benar" dengan penjelasan beberapa staf pengajar mata kuliah lain yang di antaranya ternyata lebih senior daripada penyusun.

Apabila pendidikan dianggap jauh berbeda dengan pengajaran adalah persepsi yang keliru. Pengajaran boleh jadi tidak sama persis dengan pendidikan, tetapi tidak berarti di antara keduanya terdapat jurang pemisah yang mengakibatkan timbulnya perbedaan yang mencolok. Pendidikan boleh juga dipandang lebih utama daripada pengajaran dalam arti sebagai konsep ideal (sebagai landasan hukum). Namun, sulit dipercaya apabila ada sebuah sistem pendidikan dapat berjalan tanpa pengajaran. Oleh karena itu, pengajaran dengan segala bentuk per¬wujudannya seyogianya dipandang sebagai konsep operasional yang berposisi kurang lebih setara-kalau bukan persis-dengan pendidikan, sebagai konsep ideal. Alhasil, menurut hemat penyusun, hakikat hubungan antara pendidikan dengan pengajaran itu kira-kira ibarat dua sisi mata uang logam yang satu sama lain saling memerlukan.

 Selanjutnya, istilah pendidikan memang mengandung arti yang luas, igan yakni meliputi semua upaya menumbuhkembangkan seluruh kemampuan logis ranah psikologis individu manusia yang terkadang dapat dilakukan. dengan cara self-instruction (mengajar diri sendiri). Cara melaksanakan arti pendidikan disebut mendidik. Jadi, seorang guru yang sehari-harinya akan mengajar agama misalnya, ia dapat juga disebut sebagai pendidik agama selain pengajar agama.

Di pihak lain, jika orang tua berkehendak mendidik anaknya dalam bidang agama, maka ia tak akan terlepas dari upaya pengajaran agama seperti dengan cara dan kemampuannya sendiri. Dalam hal ini, pengajaran agama orang tua itu tentu tidak harus dilaksanakan dengan cara berceramah seperti guru kelas, tetapi dengan memberi wejangan, teladan, dan bimbingan praktis sesuai dengan ajaran agama yang diyakininya.

Subscribe to receive free email updates: